Senin, 29 Juni 2015

TINJAUAN MATERI MUATAN DALAM PEMBENTUKAN KONSTITUSI


I. PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Di era modern saat ini, kita mengetahui bahwa tidak ada suatu negara-pun di dunia ini yang tidak memiliki suatu konstitusi. Semula konstitusi hanya dimaksud untuk membatasi wewenang dan kekuasaan penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur pemerintahan. Namun, seiring dengan kebangkitan paham kebangsaan dan demokrasi, konstitusi juga menjadi alat rakyat mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita. Itu sebabnya konstitusi tidak hanya merumuskan atau menyimpulkan prinsi-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan yang semuanya mengikat penguasa.[1]
Indonesia sebagai negara berdaulat yang hidup dalam pergaulan dunia era modern saat ini tentunya juga memiliki konstitusi. Konstitusi negara Indonesia yang kini digunakan ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Penggunaan Undang-Undang Dasar NRI 1945 ini tentunya melalui jalan yang panjang dengan proses yang berliku. Setidaknya hingga 69 tahun sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, negara Indonesia telah menggunakan 4 konstitusi yakni antara lain UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara, dan yang terakhir ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen.
Sebagai sebuah konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentunya memiliki materi muatan yang khusus serta mengatur kehidupan ketatanegaran yang fundamental di negara Indonesia. Istilah materi muatan berasal dari alih bahasa Belanda yakni het onderwerp, yang artinya isi kandungan atau subtansi peraturan perundang-undangan, termasuk kandungan isi atau subtansi konstitusi. Dalam bahasa Inggris disebut content of constitution.[2]   
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan seluruh urain latar belakang masalah diatas tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam pembahasan makalah ini. Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
            1. Materi-materi muatan dalam pembentukan konstitusi ?
            2. Tinjauan materi muatan dalam Undang-Undang Dasar ?
  
II. PEMBAHASAN
                                              
A.   Materi Muatan Dalam Konstitusi
Dalam literatur dicatat beberapa ahli hukum mengemukakan pandagan tentang materi muatan konstitusi. KC Wheare, mengemukakan materi muatan Konstitusi minimal mencagkup :[3]
1)      Susunan pemerintahan (structure of government), yakni tentang lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudisial;
2)      Hubungan timbal balik antara lembaga negara tesebut satu sama lain;
3)      Hubungan antara lembaga-lembaga negara dengan masyarakat (community) atau warga negara (citizen);
4)      Pernyataan perlindungan hak-hak warga negara (declaration of the guarantee of the right of the subject); dan
5)      Tujuan atau cita-cita politik ini menjadi sumber dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang mengikat secara hukum (legaaly binding) badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudisial.
Sedangkan menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri dalam disertasinya menggambarkan secara lebih jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. Pada umumnya konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :[4]
1.  Adanya jaminan terhadap hak-hak manusia dan warga negaranya;
2.  Ditetapkan susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3.  Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Menurut Miriam Budiarjo mengenai materi muatan konstitusi yakni antara lain :
1)      Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, pembagian kekuasaan antara level pemerintahan; prosedur penyelesaian masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;
2)      HAM.
3)      Prosedur perubahan konstitusi/UUD.
4)      Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar.
Menurut C.F Strong konstitusi sejatinya mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal berikut :[5]
1)      Cara pengaturan berbagai jenis institusi;
2)      Jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut;
3)      Dengan cara bagaimana kekuasaam tersebut dilaksanakan.
Selanjutnya di dalam literatur teori tentang negara dan hukum, dicatat Hans Kelsen bahwa materi muatan konstitusi berupa :
1.      Pembukaan (preambule);
2.      Ketentuan mengenai isi undang-undang di masa yang akan datang (determination of the contents of future statutes);
3.      Ketentuan tentang fungsi administratif dan yudikatif (determination of the administrative and judical function);
4.      Hukum yang inskonstitusional (unconstitutional law);
5.      Pembatasan-pembatasan konstitusional (constitutional prohibitions)
6.      Perlindungan hak (bill of right)
7.      Jaminan konstitusional (guarantees of the constitution).
Secara umum pengertian konstitusi yang dikemukakan para ahli relatif sama, bahwa konstitusi dibuat untuk mengatur pembagian kekuasaan dan pembatasan kekuasaan dalam negara, mengatur perlindungan konstitusional hak asasi manusia, dan mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat.
B.  Materi Muatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Materi muatan suatu konstitusi, menurut Miriam Budiardjo memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:[6]
1.      Organisasi negara;
2.      Hak-hak asasi manusia;
3.      Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar; dan
4.      Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, maka kiranya dapat dijabarkan terkait konstitusi negara Republik Indonesia sebagai berikut:
1. Organisasi Negara
Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dirumuskan, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.  Dalam hal ini, menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Tata Negara, dijelaskan bahwa:
“Untuk mencegah terjadinya salah pengertian, maka perlu dibedakan secara tegas penggunaan istilah mengenai “bentuk”, yang ditujukan kepada pengertian Republik, sedangkan istilah “susunan” ditujukan kepada pengertian kesatuan atau federasi”.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara kesatuan merupakan penggunaan istilah sebagai susunan negara dan republik merupakan penggunaan untuk istilah bentuk negara.
Negara kesatuan menurut C.F. Strong memiliki ciri bahwa “kedaulatan tidak terbagi” atau dengan perkataan lain kekuasaan Pemerintah Pusat tidak dibatasi, karena Konstitusi negara Kesatuan tidak mengakui adanya badan legislatif lain, selain badan legislatif pusat, dan menyebutkan kemudian bahwa ada dua ciri yang mutlak melekat pada suatu Negara Kesatuan yaitu:[7]
a)      Dekonsentrasi;
b)      Desentralisasi. 
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat atau Kepala Wilayah, Kepala Instansi, Vertikal tingkat atasannya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat sebagai tingkat atasannya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangga Daerah bersangkutan.[8]
Selain itu kepada Pemerintah Daerah dalam rangka desentralisasi sering diserahi tugas serta tantra (mederbewid) yaitutugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat atas Daerah tingkat atasannya dengan kewajiban memprertanggungjawabkan kepada yang menegaskannya. Menurut Wolhoff, Negara kesatuan dalam desentralisasi, bahwa pada dasarnya seluruh kekuasaan dimiliki oleh Pemerintah Pusat, sehingga peraturan-peraturan sentrallah (UU, PP dan sebagainya) yang menentukan bentuk dan susunan Pemerintahan daerah-daerah otonom. Macam dan luasnya kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut inisiatifnya sendiri (otonom) dan (atau) turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral dalam daerahnya adalah menurut instruksi-instruksi dari pemerintah pusat. Dalam hal ini pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.[9]
Pembagian kekuasaan atas daerah-daerah sebagaimana yang dijelaskan di atas dimuat dalam Bab VI Pasal 18 Tentang Pemerintahan Daerah yang mana Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota. Kemudian terkait bentuk Negara Republik, konsep Negara Republik  menurut paham Duguit bahwa “jika seorang Kepala Negara dipilih dalam suatu pemilihan umum untuk masa jabatan yang ditentukan, maka bentuk negaranya disebut republik dan Kepala Negara-nya adalah seorang presiden”.[10]  Menurut Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Republik berdasarkan bentuknya sebagaimana termuat juga dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Apabila mengacu pada faham Duguit di atas, UUD NRI tahun 1945 juga menganut prinsip yang sama terkait masa jabatan presiden. Dalam Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dan wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dalam teori kenegaraan, dikenal paham pemisahan/ Pembagian kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu yang diilhami oleh pendapat John Locke. Montesquieu dalam bukunya “L ‘Esprit des Lois” mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu:[11]
1)      Kekuasaan eksekutif, yang diartikan sebagai kekuasaan yang menjalankan Undang-Undang;
2)      Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang;
3)      Kekuasaan Yudikatif, yang diartikan sebagai kekuasaan untuk mengadili.
Dalam hal pembagian kekuasaan Pemerintahan, UUD 1945 membagi kekuasaan menjadi tiga bagian sebagaimana yang diuraikan oleh Montesquieu berdasarkan fungsinya, yaitu:
1)      Kekuasaan Eksekutif; yang masuk dalam lingkup Kekuasaan Pemerintahan Negara yang menjalankan fungsi pemerintahan menurut Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 – Pasal  16 UUD 1945.
2)      Kekuasaan Legislatif; sebagaimana diatur dalam Pasal 19- Pasal 22 UUD 1945 tentang Dewan Perwakilan Rakyat;
3)      Kekuasaan Yudikatif; sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. 
Akan tetapi UUD 1945 tidaklah menganut sistem pemisahan kekuasaan murni sebagaimana yang dikemukakan Montesquieu, melainkan sistem pembagian kekuasaan karena dalam prakteknya UUD 1945 mengatur tentang pembentukan suatu Undang-Undang yang disusun oleh Kekuasaan Legislatif bersama-sama dengan Kekuasaan Eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 20 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Hal ini jelas menyatakan bahwasannya kekuasaan eksekutif memiliki fungsi legislasi yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam UUD 1945 juga mengatur terkait kedaulatan negara berada ditangan rakyat yang dimuat dalam pasal 1 ayat (2). Hal tersebut diimplementasikan dalam wujud lembaga permusyawaratan negara yang diatur dalam pasal 2 dan 3 UUD 1945. Kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui sistem perwakilan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Sistem keterwakilan tersebut juga berlaku pada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai wujud dari demokrasi Indonesia sebagaimana dituangkan dalam ideology negara Pancasila sila keempat.
2. Hak-Hak Asasi Manusia
Hak-Hak Asasi manusia dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28A-J. Konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional HAM yang diterima oleh Indonesia.[12]
Berdasarkan uraian di atas, terdapat pembagian terkait penegakkan HAM di Indonesia. Bila kita kaji dalam muatan HAM yang diatur dalam UUD 1945, kiranya dapat dijabarkan sebagai berikut:
a)      Terhadap Hak-Hak mendasar manusia  diatur dalam Pasal 28A – Pasal 28H dan Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945.
b)      Terhadap Kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi Peraturan Perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
c)      Terhadap hak dan kewajiban membela negara, dalam hal ini diatur di luar pasal 28A- J, dimana hak dan kewajiban membela negara diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
d)     Terhadap kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM diatur dalam pasal 28I ayat (4) dan (5)  UUD 1945.

3. Adakalanya Memuat Larangan Untuk Mengubah Sifat Tertentu Dari Undang-Undang Dasar
Dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 mengatakan, “khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Yang mendasari tidak dapat dirubahnya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia karena didasari pada semboyan kebangsan Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” dan juga falsafah/ ideology negara pancasila sila ketiga yang juga dimuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu “Persatuan Indonesia”.
Selain daripada itu, pada masa periode UUD 1945 Amandemen, tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem presidensiil.[13]
4. Prosedur Mengubah Undang-Undang Dasar 1945
Setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasalnya tentang perobahan. Hal ini disebabkan karena suatu Konstitusi, walaupun dia dirancang untuk jangka waktu yang lama, selalu akan tertinggal dari perkembangan masyarakat, sehingga pada suatu saat kemungkinan perkembangan itu terjadi, maka konstitusi itu perlu dirubah.[14]
Suatu Konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum dasar yang merupakan dasar bagi peraturan-perundangan lainnya. Karena tingkatannya lebih tinggi, dan juga yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hukum lainnya, maka pembuat konstitusi menetapkan cara perubahan yang tidak mudah dengan maksud agar tidak mudah pula orang merubah hukum dasarnya. Kalau memang suatu perubahan diperlukan, maka perubahan itu haruslah benar-benar dianggap perlu oleh rakyat banyak. Tetapi sebaliknya ada pula konstitusi yang mensyaratkan perubahan tidak seberat seperti cara di attas, dengan pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu mempersulit perubahan konstitusi. Konstitusi yang demikian sifatnya fleksibel, karena untuk perubahannya tidak memerlukan cara yang istimewa, cukup dilakukan oleh badan pembuat Undang-undang biasa. Sebaliknya ada pula konstitusi yang menetapkan syarat perubahan dengan cara yang istimewa, umpamanya perubahan itu harus disetujui lebih dahulu oleh kedua perwakilannya. Konstitusi itu bersifat rigid.[15]
UUD 1945 mengatur tentang perubahan Undang-Undang Dasar, dalam Pasal 37 ayat (3) dikatakan, “untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Selanjutnya dalam hal pengambilan putusan dalam pasal 37 ayat (4) memberikan syarat putusan untuk mengubah Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi bila dilihat dari proses perubahan UUD yang diatur dalam pasal 37 UUD 1945 hanya dilakukan oleh suatu lembaga yang yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk melakukan perubahan. Apabila dikorelasikan dengan penjabaran sifat konstitusi di atas, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang bersifat fleksibel dilihat dari cara merubahnya yang hanya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan.

 III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa Materi Muatan dalam konstitusi memuat hal-hal yang mendasar atau hal-hal yang pokok yaitu, Organisasi Negara, Hak Asasi Manusia (HAM), Prosedur Mengubah konstitusi (UUD 1945), dan adakalanya juga memuat tentang mekanisme atau tata cara perubahan konstitusi (UUD 1945). Hal ini tersebut dimuat dalam konstitusi agar diatur secara mendasar guna menata dan mengatur jalannya suatu pemerintahah (negara) . Materi muatan dalam konstitusi dimaksudkan juga untuk membatasi kekuasaan penguasa (presiden) dan mengatur hubungang antar lembaga (Organisasi) Negara, dan memberikan penagturan kewenangan masing-masing lembaga yaitu, eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar adanya saling kontrol antara tiap-tiap lembaga tersebut, serta memberikan jaminan hak-hak asasi terhadap masyarakat. Sehinga tujuan dari bernegara dapat diwujudkan dalam pengaturan dasar sebuah Konstitusi.

 DAFTAR PUSTAKA
Ellydar Chaidir, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010.
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, edisi revisi, Setara Press, Malang, 2012.
Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011,
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 1999,
C.F. Strong, Modern Political Constitutions (Terjemahan) Nusa Media, Bandung,  2010.
Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.
Moh. Kusnadi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara (Edisi Revisi), Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, CV Sinar Bakti, Jakarta, 1988,
Muladi, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Imolikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat), PT Refika Aditama,  Bandung, 2005
Redaksi Great Publisher, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta, 2009.



[1] Ellydar Chaidir, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010, Hlm 33-34
[2]I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, edisi revisi, Setara Press, Malang, 2012, Hlm 70
[3]Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, Hlm 61
[4]Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 1999, Hlm 16
[5]C.F. Strong, Modern Political ConstitutionsKonstitusi-Konstitusi Politik Modern Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, Nusa Media, Bandung,  2010, Hlm 15
[6] Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 17.
[7] Moh. Kusnadi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara (Edisi Revisi), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm.208.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 208-209.
[10] Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: CV Sinar Bakti, 1988), hlm. 167.
[11] Ibid, hlm. 141.
[12] Muladi, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Imolikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat), (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hlm. 6.
[13] Redaksi Great Publisher, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Jogja Great Publisher, 2009), hlm. 63.
[14] Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit., hlm. 75.
[15] Ibid, hlm. 75-76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar