A. Latar Belakang Masalah
Di era
modern saat ini, kita mengetahui bahwa tidak ada suatu negara-pun di dunia ini yang tidak memiliki suatu
konstitusi. Semula konstitusi hanya dimaksud untuk membatasi wewenang dan kekuasaan penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur
pemerintahan. Namun, seiring dengan kebangkitan paham kebangsaan dan demokrasi,
konstitusi juga menjadi alat rakyat mengkonsolidasikan kedudukan politik dan
hukum dengan mengatur kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita. Itu sebabnya
konstitusi tidak hanya merumuskan atau menyimpulkan prinsi-prinsip hukum,
haluan negara, dan patokan kebijaksanaan yang semuanya mengikat penguasa.[1]
Indonesia
sebagai negara berdaulat yang hidup dalam pergaulan dunia era modern saat ini
tentunya juga memiliki konstitusi. Konstitusi negara Indonesia yang kini
digunakan ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Penggunaan Undang-Undang Dasar NRI 1945 ini tentunya melalui jalan yang panjang
dengan
proses yang
berliku. Setidaknya hingga 69 tahun sejak Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan, negara Indonesia telah menggunakan 4 konstitusi yakni antara lain
UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara,
dan yang terakhir ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 hasil amandemen.
Sebagai
sebuah konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tentunya memiliki materi muatan yang khusus serta mengatur kehidupan
ketatanegaran yang fundamental di negara Indonesia. Istilah materi muatan berasal dari alih
bahasa Belanda yakni het onderwerp,
yang artinya isi kandungan atau subtansi peraturan perundang-undangan, termasuk
kandungan isi atau subtansi konstitusi. Dalam bahasa Inggris disebut content of constitution.[2]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan seluruh
urain latar belakang masalah diatas tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang
akan dibahas dalam pembahasan makalah ini. Adapun rumusan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Materi-materi muatan dalam
pembentukan konstitusi ?
2. Tinjauan materi muatan dalam
Undang-Undang Dasar ?
A. Materi Muatan Dalam Konstitusi
Dalam
literatur dicatat beberapa ahli hukum mengemukakan pandagan tentang materi
muatan konstitusi. KC Wheare, mengemukakan materi muatan Konstitusi minimal mencagkup
:[3]
1)
Susunan pemerintahan (structure
of government), yakni tentang lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan
lembaga yudisial;
2)
Hubungan timbal balik antara lembaga negara tesebut satu sama
lain;
3)
Hubungan antara lembaga-lembaga negara dengan masyarakat (community) atau warga negara (citizen);
4)
Pernyataan perlindungan hak-hak warga negara (declaration of the guarantee of the right of the subject); dan
5)
Tujuan atau cita-cita politik ini menjadi sumber dan tujuan
penyelenggaraan pemerintahan yang mengikat secara hukum (legaaly binding) badan legislatif, badan eksekutif, dan badan
yudisial.
Sedangkan menurut Mr. J.G. Steenbeek,
sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri dalam disertasinya menggambarkan secara
lebih jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. Pada umumnya
konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :[4]
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak manusia dan warga negaranya;
2. Ditetapkan susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental;
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental.
Menurut
Miriam Budiarjo mengenai materi muatan
konstitusi yakni antara lain :
1) Organisasi negara, misalnya pembagian
kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, pembagian
kekuasaan antara level pemerintahan; prosedur penyelesaian masalah pelanggaran
yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;
2) HAM.
3) Prosedur perubahan konstitusi/UUD.
4) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah
sifat tertentu dari undang-undang dasar.
Menurut C.F Strong konstitusi sejatinya mencantumkan keterangan-keterangan jelas
mengenai hal-hal berikut :[5]
1) Cara pengaturan berbagai jenis institusi;
2) Jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada
institusi-institusi tersebut;
3) Dengan cara bagaimana kekuasaam tersebut
dilaksanakan.
Selanjutnya di dalam literatur teori tentang
negara dan hukum, dicatat Hans Kelsen bahwa materi muatan konstitusi berupa :
1. Pembukaan (preambule);
2. Ketentuan mengenai isi undang-undang di masa
yang akan datang (determination of the
contents of future statutes);
3. Ketentuan tentang fungsi administratif dan
yudikatif (determination of the
administrative and judical function);
4. Hukum yang inskonstitusional (unconstitutional law);
5. Pembatasan-pembatasan konstitusional (constitutional prohibitions)
6. Perlindungan hak (bill of right)
7. Jaminan konstitusional (guarantees of the constitution).
Secara umum pengertian konstitusi yang
dikemukakan para ahli relatif sama, bahwa konstitusi dibuat untuk mengatur
pembagian kekuasaan dan pembatasan kekuasaan dalam negara, mengatur
perlindungan konstitusional hak asasi manusia, dan mengatur hubungan antara
penguasa dan rakyat.
B. Materi
Muatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Materi
muatan suatu konstitusi, menurut Miriam Budiardjo memuat ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:[6]
1.
Organisasi negara;
2. Hak-hak asasi manusia;
3. Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar; dan
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah
sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud di atas, maka kiranya dapat dijabarkan terkait konstitusi negara
Republik Indonesia sebagai berikut:
1. Organisasi Negara
Dalam
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dirumuskan, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik”. Dalam hal ini,
menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Hukum Tata Negara, dijelaskan bahwa:
“Untuk mencegah terjadinya salah pengertian,
maka perlu dibedakan secara tegas penggunaan istilah mengenai “bentuk”, yang
ditujukan kepada pengertian Republik, sedangkan istilah “susunan” ditujukan
kepada pengertian kesatuan atau federasi”.
Dengan
demikian, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara kesatuan merupakan
penggunaan istilah sebagai susunan negara dan republik merupakan penggunaan
untuk istilah bentuk negara.
Negara
kesatuan menurut C.F. Strong memiliki ciri bahwa “kedaulatan tidak terbagi”
atau dengan perkataan lain kekuasaan Pemerintah Pusat tidak dibatasi, karena
Konstitusi negara Kesatuan tidak mengakui adanya badan legislatif lain, selain
badan legislatif pusat, dan menyebutkan kemudian bahwa ada dua ciri yang mutlak
melekat pada suatu Negara Kesatuan yaitu:[7]
a) Dekonsentrasi;
b) Desentralisasi.
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat atau Kepala Wilayah, Kepala
Instansi, Vertikal tingkat atasannya kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat
sebagai tingkat atasannya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangga Daerah
bersangkutan.[8]
Selain
itu kepada Pemerintah Daerah dalam rangka desentralisasi sering diserahi tugas serta tantra (mederbewid) yaitutugas
untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat atas Daerah tingkat atasannya dengan
kewajiban memprertanggungjawabkan kepada yang menegaskannya. Menurut Wolhoff,
Negara kesatuan dalam desentralisasi, bahwa pada dasarnya seluruh kekuasaan
dimiliki oleh Pemerintah Pusat, sehingga peraturan-peraturan sentrallah (UU, PP
dan sebagainya) yang menentukan bentuk dan susunan Pemerintahan daerah-daerah
otonom. Macam dan luasnya kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri menurut inisiatifnya sendiri (otonom) dan (atau) turut mengatur dan
mengurus hal-hal sentral dalam daerahnya adalah menurut instruksi-instruksi
dari pemerintah pusat. Dalam hal ini pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan
pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.[9]
Pembagian
kekuasaan atas daerah-daerah sebagaimana yang dijelaskan di atas dimuat dalam
Bab VI Pasal 18 Tentang Pemerintahan Daerah yang mana Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas Kabupaten dan Kota. Kemudian terkait bentuk Negara Republik, konsep Negara
Republik menurut paham Duguit bahwa
“jika seorang Kepala Negara dipilih dalam suatu pemilihan umum untuk masa
jabatan yang ditentukan, maka bentuk negaranya disebut republik dan Kepala
Negara-nya adalah seorang presiden”.[10] Menurut Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal
tersebut jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Republik berdasarkan
bentuknya sebagaimana termuat juga dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Apabila mengacu pada faham Duguit di atas, UUD NRI tahun 1945 juga menganut prinsip yang sama terkait
masa jabatan presiden. Dalam Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dan wakil
Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dalam
teori kenegaraan, dikenal paham pemisahan/ Pembagian kekuasaan yang dikemukakan
oleh Montesquieu yang diilhami oleh pendapat John Locke. Montesquieu dalam
bukunya “L ‘Esprit des Lois” mengemukakan
bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu:[11]
1) Kekuasaan eksekutif, yang diartikan sebagai
kekuasaan yang menjalankan Undang-Undang;
2) Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat
Undang-Undang;
3) Kekuasaan Yudikatif, yang diartikan sebagai
kekuasaan untuk mengadili.
Dalam
hal pembagian kekuasaan Pemerintahan, UUD 1945 membagi kekuasaan menjadi tiga
bagian sebagaimana yang diuraikan oleh Montesquieu berdasarkan fungsinya,
yaitu:
1) Kekuasaan Eksekutif; yang masuk dalam lingkup
Kekuasaan Pemerintahan Negara yang menjalankan fungsi pemerintahan menurut
Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 – Pasal 16 UUD 1945.
2) Kekuasaan Legislatif; sebagaimana diatur dalam
Pasal 19- Pasal 22 UUD 1945 tentang Dewan Perwakilan Rakyat;
3) Kekuasaan Yudikatif; sebagaimana diatur dalam
Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Akan
tetapi UUD 1945 tidaklah menganut sistem pemisahan kekuasaan murni sebagaimana
yang dikemukakan Montesquieu, melainkan sistem pembagian kekuasaan karena dalam
prakteknya UUD 1945 mengatur tentang pembentukan suatu Undang-Undang yang
disusun oleh Kekuasaan Legislatif bersama-sama dengan Kekuasaan Eksekutif. Hal
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 20 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama”. Hal ini jelas menyatakan bahwasannya kekuasaan eksekutif
memiliki fungsi legislasi yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam
UUD 1945 juga mengatur terkait kedaulatan negara berada ditangan rakyat yang
dimuat dalam pasal 1 ayat (2). Hal tersebut diimplementasikan dalam wujud
lembaga permusyawaratan negara yang diatur dalam pasal 2 dan 3 UUD 1945.
Kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui sistem perwakilan sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang”. Sistem keterwakilan tersebut juga berlaku pada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai wujud dari demokrasi
Indonesia sebagaimana dituangkan dalam ideology negara Pancasila sila keempat.
2. Hak-Hak Asasi Manusia
Hak-Hak
Asasi manusia dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28A-J. Konsep HAM di Indonesia
bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar
manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum
tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum
internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia, juga wajib
membela terhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati,
melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional HAM yang diterima oleh
Indonesia.[12]
Berdasarkan
uraian di atas, terdapat pembagian terkait penegakkan HAM di Indonesia. Bila
kita kaji dalam muatan HAM yang diatur dalam UUD 1945, kiranya dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a) Terhadap Hak-Hak mendasar manusia diatur dalam Pasal 28A – Pasal 28H dan Pasal
28I ayat (1) dan (2) UUD 1945.
b) Terhadap Kewajiban dasar manusia sebagai warga
negara untuk mematuhi Peraturan Perundang-undangan, hukum tak tertulis,
menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional
mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
c) Terhadap hak dan kewajiban membela negara,
dalam hal ini diatur di luar pasal 28A- J, dimana hak dan kewajiban membela
negara diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
d) Terhadap kewajiban bagi pemerintah untuk
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM diatur dalam pasal 28I
ayat (4) dan (5) UUD 1945.
3. Adakalanya Memuat Larangan Untuk Mengubah Sifat Tertentu Dari
Undang-Undang Dasar
Dalam
Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 mengatakan, “khusus tentang bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Yang mendasari tidak dapat
dirubahnya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia karena didasari pada
semboyan kebangsan Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” dan juga falsafah/
ideology negara pancasila sila ketiga yang juga dimuat dalam pembukaan UUD 1945
alinea keempat yaitu “Persatuan Indonesia”.
Selain
daripada itu, pada masa periode UUD 1945 Amandemen, tujuan perubahan UUD 1945 waktu
itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan
rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan hukum, serta
hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
presidensiil.[13]
4. Prosedur Mengubah
Undang-Undang Dasar 1945
Setiap
konstitusi yang tertulis mencantumkan pasalnya tentang perobahan. Hal ini
disebabkan karena suatu Konstitusi, walaupun dia dirancang untuk jangka waktu
yang lama, selalu akan tertinggal dari perkembangan masyarakat, sehingga pada
suatu saat kemungkinan perkembangan itu terjadi, maka konstitusi itu perlu
dirubah.[14]
Suatu
Konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum dasar yang merupakan dasar bagi
peraturan-perundangan lainnya. Karena tingkatannya lebih tinggi, dan juga yang
menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hukum lainnya, maka pembuat konstitusi
menetapkan cara perubahan yang tidak mudah dengan maksud agar tidak mudah pula
orang merubah hukum dasarnya. Kalau memang suatu perubahan diperlukan, maka perubahan
itu haruslah benar-benar dianggap perlu oleh rakyat banyak. Tetapi sebaliknya
ada pula konstitusi yang mensyaratkan perubahan tidak seberat seperti cara di
attas, dengan pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu mempersulit perubahan
konstitusi. Konstitusi yang demikian sifatnya fleksibel, karena untuk
perubahannya tidak memerlukan cara yang istimewa, cukup dilakukan oleh badan
pembuat Undang-undang biasa. Sebaliknya ada pula konstitusi yang menetapkan
syarat perubahan dengan cara yang istimewa, umpamanya perubahan itu harus
disetujui lebih dahulu oleh kedua perwakilannya. Konstitusi itu bersifat rigid.[15]
UUD
1945 mengatur tentang perubahan Undang-Undang Dasar, dalam Pasal 37 ayat (3)
dikatakan, “untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Selanjutnya dalam hal pengambilan putusan
dalam pasal 37 ayat (4) memberikan syarat putusan untuk mengubah Undang-Undang
Dasar dilakukan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu dari seluruh
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi bila dilihat dari proses perubahan UUD yang diatur dalam
pasal 37 UUD 1945 hanya dilakukan oleh suatu lembaga yang yang diberikan
kewenangan oleh UUD 1945 untuk melakukan perubahan. Apabila dikorelasikan
dengan penjabaran sifat konstitusi di atas, dapat dikatakan bahwa UUD 1945
merupakan konstitusi yang bersifat fleksibel dilihat dari cara merubahnya yang
hanya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa Materi Muatan dalam konstitusi memuat hal-hal
yang mendasar atau hal-hal yang pokok yaitu, Organisasi Negara, Hak Asasi
Manusia (HAM), Prosedur Mengubah konstitusi (UUD 1945), dan adakalanya juga
memuat tentang mekanisme atau tata cara perubahan konstitusi (UUD 1945). Hal
ini tersebut dimuat dalam konstitusi agar diatur secara mendasar guna menata
dan mengatur jalannya suatu pemerintahah (negara) . Materi muatan dalam
konstitusi dimaksudkan juga untuk membatasi kekuasaan penguasa (presiden) dan
mengatur hubungang antar lembaga (Organisasi) Negara, dan memberikan penagturan
kewenangan masing-masing lembaga yaitu, eksekutif, legislatif, dan yudikatif
agar adanya saling kontrol antara tiap-tiap lembaga tersebut, serta memberikan
jaminan hak-hak asasi terhadap masyarakat. Sehinga tujuan dari bernegara dapat
diwujudkan dalam pengaturan dasar sebuah Konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Ellydar Chaidir, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010.
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, edisi
revisi, Setara Press, Malang, 2012.
Anwar C, Teori
dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011,
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 1999,
C.F. Strong, Modern Political Constitutions (Terjemahan) Nusa Media, Bandung, 2010.
Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.
Moh. Kusnadi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara (Edisi Revisi), Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, CV Sinar Bakti, Jakarta, 1988,
Muladi, Hak Asasi Manusia
(Hakekat, Konsep dan Imolikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat), PT
Refika Aditama, Bandung, 2005
Redaksi Great Publisher, Buku
Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, Jogja Great
Publisher, Yogyakarta, 2009.
[1] Ellydar Chaidir, Hukum
Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010, Hlm 33-34
[2]I Dewa Gede Atmadja, Hukum
Konstitusi, edisi revisi, Setara
Press, Malang, 2012, Hlm 70
[3]Anwar C, Teori dan Hukum
Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, Hlm 61
[4]Dahlan Thaib, Teori dan Hukum
Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 1999, Hlm 16
[5]C.F. Strong, Modern Political
ConstitutionsKonstitusi-Konstitusi Politik Modern Studi Perbandingan Tentang
Sejarah dan Bentuk, Nusa Media, Bandung,
2010, Hlm 15
[6] Dahlan Thaib, dkk, Teori
dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 17.
[7] Moh. Kusnadi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara (Edisi Revisi), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000),
hlm.208.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm.
208-209.
[10] Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: CV Sinar
Bakti, 1988), hlm. 167.
[11] Ibid, hlm. 141.
[12] Muladi, Hak Asasi
Manusia (Hakekat, Konsep dan Imolikasinya dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat), (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hlm. 6.
[13] Redaksi Great Publisher, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta:
Jogja Great Publisher, 2009), hlm. 63.
[14] Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit., hlm. 75.
[15] Ibid, hlm. 75-76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar